Dalam semangat pelayanan di kalangan pemuda gereja, pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya: Seperti apa bentuk pelayanan yang sesungguhnya? Bagaimana kita bisa memastikan bahwa pelayanan yang kita jalankan lahir dari hati yang tulus dan benar-benar tertuju pada Dia?
Tuhan menganugerahkan kepada kita karunia dan kemampuan yang unik serta berbeda pada masing-masing pribadi. Ada yang dikaruniai kemampuan berbicara di depan umum yang diasah melalui peran sebagai Worship Leader. Ada yang memiliki talenta bernyanyi dan menyalurkannya sebagai Song Leader. Ada pula yang terampil memainkan alat musik, untuk mengiringi ibadah dengan instrumen yang indah. Semua keterampilan yang Tuhan berikan bukan tanpa tujuan. Melalui pelayanan, Tuhan ingin talenta yang kita miliki dikembangkan agar melalui hal itu, orang-orang dapat melihat kemuliaan Tuhan bersinar dari diri kita. Prinsip ini juga ditegaskan oleh Rasul Paulus dalam 1 Korintus 10:31, “jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah.”
Namun, di sinilah letak tantangannya. Semangat untuk mengembangkan karunia tersebut terkadang bisa berbelok arah tanpa kita sadari. Tujuan mulia untuk melayani Tuhan terkadang bisa terkontaminasi oleh keinginan untuk melayani ego. Pribadi Yesus, yang seharusnya menjadi alasan utama kita melayani, perlahan mulai terabaikan. Fokusnya bukan lagi memberi yang terbaik untuk kemuliaan Tuhan, melainkan supaya menjadi pusat perhatian. Sering muncul keinginan untuk dipandang hebat, terlihat paling menonjol, dan menuai pujian dari teman ataupun jemaat. Pelayanan yang mestinya menjadi jendela bagi orang lain untuk melihat kemuliaan Tuhan, seringkali justru berubah menjadi cermin yang hanya memantulkan kehebatan diri sendiri.
Ketika spotlight bukan lagi milik Tuhan dan kita berusaha menggeser posisi-Nya, saat itulah kita harus sadari bahwa ada yang salah dalam hati pelayanan kita. Lalu, bagaimana cara kita untuk kembali meluruskan fokus tersebut?
- Mulailah dengan Cek Hati kita masing-masing. Pernahkah kita bertanya pada diri sendiri: “Untuk siapa aku melakukan ini? Apakah untuk kemuliaan Tuhan atau untuk kepuasan diri sendiri?” Kejujuran di hadapan Tuhan adalah langkah pertama menuju pemulihan motivasi.
- Ambil Prinsip Kerendahan Hati. Pelayanan adalah tentang meninggikan Tuhan, bukan diri sendiri. Yohanes Pembaptis memberikan teladan sempurna saat ia berkata dalam Yohanes 3:30, “Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil.” Prinsip ini adalah penangkal paling ampuh bagi kesombongan rohani. Dengan rendah hati, kita belajar menganggap orang lain lebih utama, seperti yang dinasihatkan dalam Filipi 2:3.
- Ubah standar nilai untuk sebuah kata “Keberhasilan”. Mungkin kita sudah harus berhenti mengukur keberhasilan pelayanan dari seberapa banyak pujian yang kita terima. Misalnya memulai dari pertanyaan-pertanyaan yang lebih sederhana: “Apakah jemaat diberkati? Apakah kehadiran Tuhan terasa? Apakah nama Tuhan ditinggikan melalui apa yang saya lakukan?”
Pada akhirnya, Tuhan adalah dasar sekaligus tujuan dari segala sesuatu yang baik yang kita lakukan. Ketika kita menerima berkat talenta dari-Nya, kita juga dipanggil untuk mempersembahkan yang terbaik dari diri kita kembali kepada-Nya. Mari kita layani Dia dengan hati yang murni, dan pastikan spotlight itu tetap, dan akan selalu, tertuju pada Pemilik Panggung yang sesungguhnya.
(Ibrani 12:2)
Tulisan ini adalah karya dari Epipani Manurung.
Kategori: Karya Tulis, Renungan.





